PERKEMBANGAN ISLAM DI ARAB SAUDI
I.
PENDAHULUAN
Arab saudi adalah negeri kelahiran Islam, karena itu sering
disebut sebagai pusat keagamaan Islam. Dua kota suci umat Islam yang sangat
terkenal dan bersejarah yaitu Mekah dan Madinah. Mekah adalah kota kelahiran
Nabi saw. dan tempat pertama menerima wahyu dan mendakwakan ajaran-ajaran
Islam. Sementara Madinah adalah kota tempat negara Islam pertama berdiri dan
dari sanalah perluasan Islam bermula.
Agama yang dianut orang Arab, setelah agama
Yahudi dan Kristen merupakan agama monoteis terakhir. Secara historis Islam
merupakan penerus kedua agama sebelumnya dan dari semua agama lain di dunia, yang
merupakan jalan hidup jutaan umat manusia.[1]
Di Arab Saudi, hubungan agama dengan negara
terbina mesra saat bangkitnya gerakan keagamaan yang didirikan oleh Muhammad
ibn Abd al-Wahha>b, gerakan ini dikenal dengan gerakan Wahabi. Ketika
mencapai kekuatan politik dan militer gerakan ini secara sistematis
menghancurkan segala sesuatu yang dipandang penyebab berkembangnya
ajaran-ajaran bid’ah dalam Islam.
Arab Saudi
akhirnya menganut paham dan konsep agama-negara merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paham ini
memberikan penegasan negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Dalam pergulatan Islam dengan negara modern,
pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama–negara,
yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan
prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian Paradigma integralistik identik dengan
paham Islam al-Din wa al-Dawlah yang sumber hukumnya adalah hukum Islam
(syariat Islam). Paradigma ini
antara lain dianut oleh kerajaan Saudi Arabia yang menjadikan Islam sebagai
agama resmi sekaligus sebagai sistem politik, hukum, ekonomi dan budaya.
Satu hal yang menarik ketika berbicara tentang
Arab saudi adalah hubungan Arab saudi dengan Wahhabiah yang membentuk
simbiotik, Wahhabiah membutuhkan institusi untuk menyebarkan ajaran-ajarannya
dan di sisi lain Arab Saudi juga membutuhkan Wahhabiah sebagai legetimasi agama
untuk menjalankan pemerintahannya. Dan tampaknya kedua kekuatan inilah yang
mewarnai Arab saudi dalam perjalanan sejarahnya hingga saat ini.
Dari dasar inilah penulis memusatkan
pembahasan dalam makalah ini kepada dua masalah yaitu: Gambaran ringkas Arab Saudi dan
sejarah perkembangan paham Islam Wahhabiah di Arab Saudi.
II.
PEMBAHASAN
A.
Gambaran Ringkas Arab
Saudi
Arab Saudi
atau Saudi Arabia atau Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab yang terletak di Jazirah Arab.
Beriklim gurun dan
wilayahnya sebagian besar terdiri atas gurun pasir
dengan gurun pasir yang terbesar adalah Rub al-Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara. Negara ini berbatasan langsung (searah jarum jam dari arah utara)
dengan Yordania, Irak, Kuwait, Teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman,
dan Laut Merah.[2]
Pada tanggal 23
September 1932, Abdul Aziz ibn Abdurrahman
al-Sa'ud dikenal
juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi
atau Saudi Arabia (al-Mamlakah
al-‘Arabiyah al-Su‘udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed),
Hail, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan
tersebut.[3]
Dengan demikian dapat dipahami, nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja
Abdul Aziz al-Sa'ud.
Arab Saudi terkenal sebagai Negara kelahiran Nabi Muhammad saw. serta tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga pada
benderanya terdapat dua kalimat syahadat yang berarti "Tidak ada tuhan
(yang pantas) untuk disembah melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah
utusannya".
1.
Ekonomi
Kekayaan yang sangat besar yang didapat dari minyak,
sangat membantu permainan dan pembentukan kekuatan peran dari keluarga Kerajaan
Saudi baik didalam maupun luar negeri. Wilayah ini dahulu merupakan wilayah
perdagangan terutama di kawasan Hijaz antara Yaman-Mekkah-Madinah-Damaskus dan Palestina.
Pertanian dikenal saat itu dengan perkebunan kurma dan gandum serta peternakan
yang menghasilkan daging serta susu dan olahannya. Pada saat sekarang
digalakkan sistem pertanian terpadu untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.[4]
Perindustrian umumnya bertumpu pada sektor Minyak bumi dan Petrokimia terutama
setelah ditemukannya sumber sumber minyak pada tanggal 3 Maret 1938. Selain itu
juga untuk mengatasi kesulitan sumber air selain bertumpu pada sumber air alam
(oase) juga didirikan industri desalinasi Air Laut di kota Jubail. Sejalan dengan tumbuhnya perekonomian maka kota-kota menjadi
tumbuh dan berkembang.
Kota-kota yang terkenal di wilayah ini selain kota suci Mekkah dan Madinah adalah Kota Riyadh sebagai ibukota kerajaan, Dammam, Dhahran, Khafji, Jubail, Tabuk dan Jeddah.[5]
2.
Politik
Arab
Saudi
menggunakan sistem Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat
Islam dengan berdasar pada pengamalan ajaran Islam berdasarkan pemahaman
sahabat Nabi terhadap al-Qur'an
dan Hadis atau dengan kata lain pemahaman Ahlus Sunnah Wa al-Jamaah.
Memiliki hubungan internasional dengan negara negara lain baik negara negara
Arab, negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam, maupun negara negara lain.
3.
Penduduk dan Pembagian Wilayah
Keluarga
suku Qurays yang dikenal sebagai bangsawan dan pemimpin bangsa Arab, turunan
pendiri dan pemelihara bangunan suci Ka'bah, Nabi Ibrahim dan putranya Nabi
Ismail, dimana Nabi Muhammad adalah salah satu dari Bani Hasyim Qurays, di
wilayah Hijaz, sekarang merupakan salah satu suku penduduk di Saudi Arabia.
Penduduk Arab Saudi adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta
mayoritas beragama Islam. Di daerah daerah industri dijumpai penduduk dari
negara-negara lain sebagai kontraktor dan pekerja asing atau ekspatriat.[6]
Wilayah Arab Saudi terbagi atas
13 provinsi atau manatiq (jamak dari mantiqah) yakni: Bahah, Hududusy Syamaliyah, Jauf, Madinah, Qasim, Riyadh, Syarqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), 'Asir, Ha'il, Jizan, Makkah, Najran.[7]
4.
Geografi
Arab
Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Luas
kawasannya adalah 2.240.000 km². Arab Saudi merangkumi empat perlima
kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah.
Permukaan terendah di sini ialah di Teluk Persia
pada 0 m dan Jabal
Sauda' pada 3.133 m.
Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak
kawasan gurun.
Gurun yang terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki
"Daerah Kosong" (dalam bahasa Arab, Rub
al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun demikian di bagian barat
dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau.[8]
Gurun
adalah fitur yang paling menonjol dari Jazirah Arab. Meskipun luas, saluran
kering mendominasi Arab Saudi, negara juga mencakup membentang panjang garis
pantai kering sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah dan oasis besar di Provinsi
Timur. Accordingly, the Saudi environment is not
uniform, and the differences between coastal and desert life have played their
part in Arabian history. Dengan demikian, lingkungan Saudi tidak
seragam, dan perbedaan antara dan gurun kehidupan pesisir telah memainkan
bagian mereka dalam sejarah Arab. Those living on
the water have had more contact with other peoples and thus have developed more
cosmopolitan outlooks than those living in the interior. Mereka yang
hidup di air memiliki lebih banyak kontak dengan orang lain dan dengan demikian
telah mengembangkan pandangan kosmopolitan lebih dari yang tinggal di
pedalaman.[9]
5.
Raja-raja Arab Saudi
Ibnu Saud dilahirkan di Riyadh dan
merupakan anak pasangan Abdul Rahman ibn
Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri.
Pada tahun 1890,
semasa berusia sepuluh tahun, Ibnu Saud mengikuti keluarganya dalam pengasingan
di Kuwait
setelah direbutnya tanah keluarganya oleh dinasti Rashidi. Ia menghabiskan masa
kanak-kanaknya di Kuwait dalam keadaan tidak berharta. Pada tahun 1901, semasa berusia 22
tahun, Ibnu Saud menggantikan ayahnya sebagai ketua keluarga dinasti Saud
dengan gelar Sulthan Nejd. Ia kemudian memulai kampanye untuk merebut kembali tanah
keluarganya dari dinasti Rashidi di tempat yang kini merupakan Arab Saudi.
Pada tahun 1902,
beliau bersama-sama dengan pasukan keluarga dan saudaranya berhasil merebut Riyadh dengan
membunuh gubernur Rashidi di sana.
Dua tahun setelah berhasil merebut Riyadh, Ibnu Saud
berhasil menguasai separuh dari Nejd. Meskipun begitu, pada tahun 1904, dinasti Rashidi
meminta bantuan dari Kesultanan Utsmaniyah untuk mengalahkan
dinasti Saud (Keluarga Kerajaan
Saudi). Kerajaan Utsmaniyah mengirimkan pasukan ke Arabia (Tanah Arab) dan
ini menyebabkan kekalahan dinasti Saud pada 15 Juni 1904, namun setelah
pasukan Utsmaniyah mundur disebabkan masalah tertentu, pasukan dinasti Saud
berhasil mengumpulkan kembali kekuatannya.
Pada tahun 1912, Ibnu Saud
berhasil menguasai Nejd
dengan bantuan dinasti Wahabi. Pada tahun 1922 dinasti Saud
berhasil mengalahkan dinasti Rashidi dan ini mengakhiri penguasaan dinasti
Rashidi di Tanah Arab. Pada tahun 1925,
dinasti Saud berhasil merebut Kota Suci Makkah dari Syarif
Hussain bin Ali. Pada 10 Januari 1926, Ibnu Saud dinobatkan menjadi Raja Hijaz di Masjidil
Haram, Makkah. Pada tahun 1932, setelah menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya, Ibnu Saud menamakan tanah
gabungan Hijaz dan Nejd sebagai Arab Saudi.
Saud ibn ’Abd al-’Aziz al-Su’ud (12 Januari
1902 - 23 Februari
1969) ialah Raja
Arab Saudi
dari tahun 1953
sampai 2
November 1964. Ia adalah anak sulung Raja Ibnu Saud. Ia kemudian dilantik menjadi putera mahkota pada 11 Mei 1933 dan dinobatkan menjadi raja setelah mangkatnya ayahnya pada tahun 1953. Semasa pemerintahannya
banyak kantor pemerintahan didirikan di samping pendirian Universitas Raja Su'ud
di Riyadh.
Sepanjang pemerintahannya banyak ketidakpuasan disuarakan oleh
anggota keluarganya sendiri. Seperti ayahandanya, ia mempunyai banyak anak
lebih kurang 30 orang. Raja Saud memberi anak-anaknya kekuasaan yang tinggi di
samping melantik mereka ke posisi-posisi yang penting di dalam kerajaan. Hal
ini menyebabkan adik-adiknya terutama adik-adik tirinya merasa tidak puas.
Mereka melihat anak-anak Raja Su'ud tidak mempunyai cukup pengalaman dalam
memerintah negara di samping khawatir Raja Su'ud mungkin melantik anaknya untuk
menggantikannya setelah ini. Raja Su'ud gemar membelanjakan uang negara demi
kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia juga membuat kekisruhan politik yang
antaranya dikaitkan dengan percobaan pembunuhan Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir ketika itu. Dia
juga diketahui dengan sikapnya yang suka minum arak yang nyata-nyata merupakan perkara yang
dilarang dalam Islam.
Sebuah perebutan kekuasaan oleh keluarganya
sendiri terjadi pada tahun 1964 dengan disokong oleh golongan ulama. Walaupun Muhammad ibn
Abdul Aziz Al Su'ud merupakan pewaris tahta yang paling layak namun dia
enggan menerimanya dan sebaliknya menyokong pengangkatan adik tirinya yaitu Faishal ibn
Abdul Aziz Al Su'ud sebagai raja. Raja Su'ud kemudian ke Jenewa, Swiss setelah diusir
keluar dari Arab
Saudi. Pada tahun 1966,
Raja Su'ud telah dijemput oleh Presiden Gamal Abdel Nasser untuk tinggal di Mesir. Ia meninggal
dunia di Athena,
Yunani pada
tahun 1969.
Raja Faisal lahir di Riyadh dan
merupakan anak keempat Raja Abdul Aziz Al Saud. Raja Faisal memerintah
sekumpulan laskar dan berhasil memenangkan pertempuran di Hijaz. Oleh karena
itu, ia dilantik menjadi Gubernur Hijaz pada tahun berikutnya. Setelah Arab Saudi
didirikan, dia diberi jabatan Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada tahun 1932. Setelah
resolusi PBB mengenai
pemecahan Palestina
dan pendirian Israel,
Pangeran Faisal (masih belum menjadi raja) mendesak ayahandanya supaya
memutuskan hubungan dengan Amerika
Serikat, tetapi desakannya itu ditolak. Selepas skandal keuangan Raja Saud, Pangeran Faisal dilantik menjadi
pemerintah sementara. Pada tanggal 2 November
1964, ia dilantik
menjadi raja setelah Raja Saud melarikan diri ke Yunani.
Raja Faisal melakukan banyak reformasi
sewaktu menjadi raja, diantaranya adalah memperbolehkan anak-anak perempuan
bersekolah, televisi,
dan sebagainya. Usahanya ini mendapat tentangan dari berbagai pihak karena
perkara-perkara ini dianggap bertentangan dengan Islam. Ia berasa amat
kecewa saat Israel
memenangkan Perang Enam Hari pada tahun 1967.
Khalid dilantik menjadi Putera Mahkota pada
tahun 1965 selepas kakaknya (kakak kandung) yaitu Muhammad ibn Abdul Aziz Al Su'ud menolak untuk menjadi raja. Ia tidak begitu berminat dengan politik dan memberikan kekuasaan
pemerintahan kepada adik tirinya yaitu Putera Mahkota Fahd. Untuk memperingati penyusunan kembali Majelis
Menteri-Menteri pada tahun 1975, Raja Khalid mengangkat Putera Mahkota Fahd sebagai Wakil Perdana Menteri. Pada tahun
1976, Raja Khalid terpaksa pergi ke Amerika
Serikat untuk mendapatkan perawatan disebabkan masalah jantung. Raja Khalid
menanyakan kepada Presiden Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat ketika itu
untuk menjual pesawat pejuang kepada Arab Saudi untuk memberantas kegiatan
komunis di sana. Pengantaran pertama enam belas buah pesawat pejuang F-15 di
bawah perjanjian dengan Presiden Carter tiba pada tahun 1982. Sebagian
pemerhati luar menggangap senjata tradisional dan lama tidak lagi sesuai
digunakan di Arab Saudi. Pendapat ini ternyata tepat saat sekurang-kurangnya
500 teroris menawan Masjidil Haram di Mekkah pada 20 November
1979.
Ia membuat keputusan untuk membawa masuk
buruh asing ke dalam negara untuk membantu pembangunan negara. Raja Khalid
meninggal dunia akibat serangan jantung. Ia digantikan oleh Putera Mahkota Fahd.
Pada tahun 1953, dalam usia 30
tahun, Fahd dilantik sebagai Menteri Pendidikan oleh ayahnya, Raja Abdul aziz ibn Abdulrahman Al-Saud. Kemudian
pada tahun 1962 dia
menjadi Menteri Dalam Negeri. Lima tahun kemudian, Fahd menjadi Wakil Perdana
Menteri Kedua. Pada 25
Maret 1975, Raja Faisal dibunuh keponakannya dan Raja Khalid naik takhta. Fahd
dipilih menjadi Putra Mahkota dan Wakil Perdana Menteri Pertama. Pada masa-masa
akhir pemerintahan Raja Khalid, Fahd dipandang sebagai perdana menteri de
facto.
Saat Raja Khalid meninggal dunia pada 13 Juni 1982, Fahd menjadi
penerus takhta. Dia membangun ekonomi Arab Saudi dan menjalin hubungan yang
erat dengan pemerintah Amerika Serikat. Raja Fahd terkena stroke
pada tahun 1995 dan
kondisinya melemah. Tugas menjalankan kerajaan pun diberikan kepada Putra kota
Abdullah. Raja Fahd wafat pada 1 Agustus 2005.
Abdullah
ibn Abdul Aziz al-Saud, lahir 1 Agustus 1924;
umur 86 tahun) adalah Raja Arab Saudi
yang keenam. Setelah tampil sebagai Pangeran
Abdullah, ia mencapai puncak kekusaan pada 1 Agustus 2005
sesaat setelah wafatnya Raja Fahd. Ia sudah tampil sebagai penguasa de facto dan
dimungkinkan tampil menggantikan sebagai Raja Arab Saudi
sejak tahun 1995
ketika Raja Fahd mengalami penurunan kesehatan akibat terserang stroke.
Akhirnya, memang pada 3 Agustus 2005, ia
menyandang gelar Raja setelah wafatnya raja terdahulu.
Ia adalah salah satu dari 37 putra Raja Abdulaziz ibn Abdulrahman Al-Saud (pendiri Arab Saudi modern) yang lahir dari
rahim Fahada bnti Asi-al Syuraim yang adalah istri kedelapan Abdul Aziz dari
keluarga Rasyid. Ia menerima pendidikan di Sekolah Kerajaan Princes' School dari pejabat-pejabat dan tokoh-tkoh
intelektual keagamaan dan dibesarkan di bawah pengawasan ketat Raja Abdul Aziz yang adalah ayahnya. Pangeran Abdullah dikenal sangat kuat memegang ajaran agama dan
memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap rakyat dan Tanah Air. Ia
langsung mendapat pendidikan dari para ulama senior Arab Saudi di bidang agama,
sejarah, politik, dan sosiologi.
B. Sejarah Perkembangan
Paham Islam Wahhabiah di Arab Saudi
1.
Riwayat Pendiri Wahhabiah
Muhammad
ibn Abd al-Wahhāb, yang memiliki nama lengkap Muhammad ibn Abd al-Wahhāb
ibn Sulaiman ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid ibn Barid ibn Muhammad ibn
al-Masyarif al-Tamimi al-Hambali al-Najdi. Syeikh Muhammad ibn Abd al-Wahha>b dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah
(Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah
seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat
Najd menanyakan
segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.[11]
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Muhammad ibn Abd al-Wahha>b sejak
masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri
oleh ayahnya, Syeikh Abd al-Wahha>b. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Muhammad ibn Abd al-Wahha>b berhasil
menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat
sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah. Saudara kandungnya, Sulaiman ibn Abd al-Wahha>b,
menceritakan betapa bangganya Syeikh Abd al-Wahha>b , ayah mereka,
terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang
ilmu Fiqh".[12]
Salah satu tempat belajarnya adalah Madinah pada Sulaiman
al-Kurdi dan Muhammad al-Khayya>t al-Sindi. Ia banyak
mengadakan perlawatan dan sebagian hidupnya digunakan untuk berpindah-pindah
dari satu negeri ke negeri lain. Empat tahun di Bashrah, lima tahun di Baghdad,
satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan dan
selanjutnya ke Qumm dan kairo sebagai penganjur aliran Ahmad ibn Hambal. Setelah
beberapa tahun mengadakan perlawatan, ia kemudian pulang ke tanah kelahirannya
dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi untuk kemudian
mengajarkan paham-pahamnya meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya
antara lain dari kalangan keluarganya sendiri namun ia mendapat pengikut yang
banyak bahkan banyak diantaranya dari luar Uyainah.[13]
2.
Perkembangan Paham Wahhabiah
Pemikiran Muhammad Abd al-Wahha>b mempengaruhi dunia Islam di masa modern sejak
abad ke-19. Walalupun ia hidup di abad sebelumnya tetapi pemikirannya
mengilhami gerakan-gerakan pembaharuan dalam dunia Islam pada abad setelahnya
bahkan sisa-sisanya masih terasa hingga kini. Pemikiran keagamaan yang
dibawahnya difokuskan pada pemurnian tauhid, oleh karenanya kelompok ini
menamakan dirinya sebagai muawwihdun. Sebutan wahhabiyah adalah nama
yang diberikan kepada kaum itu oleh lawan-lawanya. Karena pinpinanya bernama
Muhammad ibn Abd al-Wahha>b [14].
John L. Esposito menyatakan bahwa
gerakan Wahhabiah di Arab Saudi mulai meluas terutama pada pertengahan abad
ke-19.[15]
Walaupun pada kenyataannya dalam sejarah Islam, munculnya gerakan Wahhabiah
tersebut telah ada sejak abad ke-17 yang dipelopori oleh Muhammad Abd. al-Wahha>b (1703-1787 M). Abad ke-17 ini yang dimaksudkan
dalam periodesasi sejarah yang disebutkan tadi adalah abad rasionalisme, dan
memang dipahami bahwa Wahhabiah menganut paham rasional, dan modern, bukan
paham jabariah (fatalisme) dan tradisional.
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad
Abd. al-Wahhab adalah, untuk memperbaiki kedudukan umat Islam, dan gerakan ini
bukan timbul sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di
kerajaan Utsmani dan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang
terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemudian paham tauhid mereka
dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 memang tersebar
luas di dunia Islam.[16]
Di tiap negara yang dikunjunginya, Muhammad Abd. al-Wahhab melihat
kuburan-kuburan Syekh tarekat, dan di sana mereka (umat Islam) naik haji,
meminta-meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di dalamnya.
Keadaan seperti yang disebutkan di
atas dalam keyakinan Muhammad Abd. al-Wahha>b adalah salah bentuk syirik yang harus dibasmi
dengan cara mendakwahkan konsep tauhidnya dengan prinsip bahwa hanya Allah yang
berhak disembah, dan karena itu, dilarang keras bagi umat Islam ketika itu
berkunjung ke kuburan para syekh, waliyullah. Pemikiran Muhammad Abd. al-Wahha>b ini, kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad dengan menerbitkan
sebuah buku khusus yang berjudul Risalāt al-Tauhid.[17]
Muhammad Abd. al-Wahhab bukan hanya seorang teori yang mengembangkan gerakan
dakwah, tetapi ia juga seorang pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan
pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad Ibn Sa’ud dan Putranya Abd.
al-Aziz di Nejd.[18]
Berdasarkan pada apa yang
dikemukakan di atas, praktis bahwa penerimaan paham Wahhabiah cepat berkembang
di wilayah Arab Saudi ketika itu yang terutama pada masa Muhammad ibn
Sa’ud dan putranya. Berkenaan dengan itu juga, memang dalam teori umum
penyebaran Islam dan paham keislaman dipahami bahwa bila raja yang telah
menerima Islam, besar kemungkinan Islam tersebut diikuti oleh masyarakatnya,
termasuk paham keagamaan yang dianut oleh raja cepat berkembang.
Secara jelas John L. Esposito
menyatakan bahwa perkembangan Wahhabiah di Arab Saudi mencapai puncaknya sejak
ke-19 sampai memasuki abad ke-20, berikut ini, dikutip pernyataannya:
“Ibn Abd. al-Wahha>b and Muhammad ibn Sa’ud propagated
Ibn Abd. al- Wahhab’s ideas and began a
wave of expansion that, by the opening of the nineteenth century, ctilminated
in the conquest of mots of the Arabian Peninsula... the social, religious, and
political agenda set forth in Wahhabi
ideology remained firmly rooted througtout, to be revived at the opening of the
twentith century”.[19]
Artinya: “Ibn Abd. al-Wahhab dan Muhammad Ibn Sa’ud menyebar luaskan
ide-ide Ibn Abd. al-Wahhab dan memulai gelombang
ekspansi yang, pada awal abad ke-19, berpuncak pada penaklukan sebagian besar
Semenanjung Arab... agenda sosial keagamaan, dan politik yang berangkat dari Wahhabiyah
tetap berurat akar yang bangkit kembali ketika memasuki abad ke-20”.
Demikianlah paham Wahhabiah di Arab Saudi,
terus mengalami perkembangan walaupun menurut Carl Brockelman bahwa paham
tersebut nyaris padam, namun ibn Sa’ud mampu menghidupkan kembali semangatnya
dengan mendirikan organisasi ikhwan.[20] Hidupnya kembali, dan berkembangnya lebih lanjut paham Wahhabiah
bukan saja di Arab Saudi, tetapi juga di berbagai negara, ketika para ulama
datang ke tanah suci, mereka belajar tentang paham tersebut kemudian
mengembangkan lebih lanjut di negeri asal mereka. Ke India di bawa oleh Haji Ahmad, ke Afrika Utara oleh al-Sanusi,
ke Yaman oleh al-Syaukani, ke Sudan oleh Usman Danfuju dan
ke Mesir oleh Muhammad Abduh. Demikian pula ke Indonesia dikembangkan oleh K.H.
Ahmad Dahlan.[21]
Di sisi lain, secara
turun temurun berkembangnya paham Wahhabiah di Arab Saudi, sebab ulama negeri
ini dominan keturunan Abd. al-Wahha>b,
yang menikahi keluarga penguasa.[22]
Artinya bahwa di samping perkembangannya melalui jalur dakwah, juga karena
adanya jalur pernikahan. Dengan pemelukan ibn
Sa’ud dan keluarganya terhadap Wahhabiah, atau Wahabisme, dan menjadikannya
sebagai ideologi agama, tentu saja para pengikutnya terus mengembangkan paham
tersebut, dan memasukkan pada versi Islam reformatif yang rasional. Sebagaimana
imam pergerakan Wahhabiah mereka menjadi pimpinan spiritual juga sebagai
pimpinan duniawi.
Sejalan dengan perkembangan paham Wahhabiah, perkembangan Islam dari segi
kelembagaan, yakni organisasi-organisasi lembaga keagamaan juga cukup
signifikan. Pada periode tahun 1990-an, legitimisasi kerajaan terus bertumpuh
pada keluarga al-Sa’ud dengan persetujuan lembaga ulama. Lembaga keagamaan yang
paling berpengaruh di Arab Saudi adalah Dewan Ulama Senior (Council of Senior Ulama) yang dibentuk
oleh negara. Salah satu tugas dewan ini adalah memberi persetujuan keagamaan
terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai contoh pendidikan bagi perempuan yang
dimulai pada tahun 1960, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Faysal, disetujui
oleh para ulama dengan ketentuan bahwa pendidikan perempuan diterima sepanjang
sesuai dengan peranan keislaman perempuan sebagai isteri dan ibu.[23]
Berkaitan dengan inilah, praktis bahwa dalam bidang pendidikan juga mengalami
perkembangan.
M. Ira
Lapidus sesuai hasil penelitiannya menyatakan bahwa, telah terjadi revolusi di
Arab Saudi pada bidang pendidikan. Tepatnya tahun 1980 diperkirakan satu juta
anak telah merasakan pendidikan di sekolah, termasuk di dalamnya kaum
perempuan, sekitar 40.000 pelajar belajar di Perguruan Tinggi Sa’udi, dan
terdapat sekitar 15.000 yang menempuh pendidikan di luar negeri. Jumlah warga
Arab Saudi yang didik untuk mengisi pekerjaan teknik dalam industri,
perminyakan, perdagangan, pertanian, keuangan, komunikasi, dan militer
berkembang pesat.[24]
Sejalan dengan itu, dan di tengah perubahan sosial, dan perkembangan dunia
pendidikan yang telah disebutkan, tetap saja Arab Saudi mempertahankan otoritas
paham keagamaan (Wahhabiah). Namun demikian, Kendatipun Arab Saudi sepenuhnya
berpaham Wahhabiah, dan agenda pemerintahannya banyak ditentukan pada
ulama-ulama mereka yang juga berpaham Wahhabiah, tentu saja sekelompok kecil
non-Wahhabiah tetap ada di sana. Diprediksi bahwa Syī’ah juga ada, terutama di
sekitar kota Mekkah, dan hal tersebut boleh jadi karena seiring dengan
banyaknya penduduk luar yang datang dan menetap di sana, baik dalam rangka
untuk menuntut ilmu, dan juga sebagai pekerja. Yang jelasnya perkembangan
penduduk umat Islam secara umum di Arab Saudi mengalami peningkatan dari masa
ke masa.
Rezim Sa’udi
yang terbagun kuat di Arab Saudi, dan atas kentalnya paham Islam yang mereka
anut menjadikan perkembangan Islam dari segi populasi kian meningkat dari masa
ke masa, terutama ketika memasuki era kontemporer dewasa ini, di mana era
tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap semakin kuatnya Islam di Arab Saudi.
Kependudukan Arab Saudi yang kesemuanya muslim menurut perkiraan pemerintah
pada tahun 1990, berjumlah sekitar 15 juta jiwa.[25]
Satu tahun berikutnya, 1991 menurut yang dikemukakan Iwan Gayo, penduduknya
menjadi 17.869.000 jiwa.[26]
Ini berarti bahwa perkembangan populasi umat muslim dalam satu tahun saja
sangat cepat, dan karena itu diproyeksikan untuk tahun ini, lebih meningkat
lagi dan dipastikan bahwa kesemuanya
muslim. Perkembangan yang demikian meningkat ini, sejalan dengan masuknya arus
tenaga asing muslim ke Arab Saudi jauh sebelum tahun-tahun yang disebutkan
tadi. Mereka datang ke Arab Saudi dengan tujuan dan kepentingan yang
berbeda-beda. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan M. Ira Lapidus bahwa pada
tahun 1975 diperkirakan 43 persen jumlah penduduk adalah pekerja asing dari
Yaman, Oman, Mesir, dan Pakistan.[27]
Juga
telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa selain perkembangan umat Islam
yang bermazhab Sunni dengan paham Wahhabiah di Arab Saudi, tetap juga ada yang
bermazhab Syī’ah, dan jumlah penduduk Syī’ah yang dimaksudkan berkisar antara
200 sampai 500 ribu.[28]
Sejumlah kecil pengikut Syī’ah dua belas di propinsi bagian Timur. Di antara
penduduk tetap Arab Saudi adalah orang Yaman yang menganut Syī’ah Zaidiyah
menetap di propinsi bagian selatan.[29]
Tentu saja mereka ini, turut memberi sumbangsi bagi perkembangan Islam di Arab
Saudi.
Faktor lain yang menyebabkan Islam dapat berkembang di Arab Saudi di
samping karena adanya faktor kesejarahan sebagai basis umat Islam sejak masa
Nabi saw, juga karena Arab Saudi menjadi terminal berbagai informasi pembaruan
di dunia Islam era kontemprer.[30]
Deliar Noer menyatakan bahwa proses terjadinya pembaruan di Indonesia adalah
sejak tahun 1886, dan pembahruan ini bermula dari banyaknya orang-orang Indonesia
di zaman Hindia Belanda ketika itu yang pergi haji ke Mekkah. Sebagai catatan,
pada tahun 1890 terdapat sebanyak 7.000 orang yang pergi melaksanakan ibadah
haji. Kemudian antara 1899-1909 rata-rata terdapat 7.300 orang.[31]
Di samping mereka berhaji, juga kebanyakan menetap di sana memperdalam ilmu
agama kemudian dalam waktu yang lama baru kembali ke Indonesia. Di antara ulama
yang bisa disebutkan di sini adalah Syekh Nawawi dari Banten yang separuh umur
hidupnya di Mekkah, sebelum kembali ke Indonseia (Banten), ia sempat menulis
tafsir di Mekkah, dan mendapat pengakuan ulama-ulama Hijaz.[32]
Di samping
Imam Nawawi, adalah K. H. Ahmad Dahlan pendiri ormas Islam Muhammadiyah Ulama,
dan Hadratus Syaikh Hasyim al-Asy’ariy pendiri Nahlattil Ulama (NU) banyak menghabiskan
waktunya di Mekah, Arab Saudi, termasuk ulama kharisma Sulsel, K. H. Muhammad
As’ad pendiri As’adiyah Sengkang lama menetap di Mekkah, dan pernah menjadi
imam di Masjid Haram.[33]
Dewasa ini, Arab Saudi tidak saja dibanjiri oleh orang yang hendak naik haji
dan berumrah, tetapi juga para penuntut ilmu agama berkunjung ke sana
sebagaimana yang telah dilakukan ulama-ulama terdahulu, hal ini juga merupakan
indikasi tentang bertambahnya dan berkembangnya populasi muslim di Arab Saudi.
Selain dari segi perkembangan populasi, perkembangan Islam di Arab Saudi
dapat pula dilihat dari segi politik Islam yang dimainkan pemerintah. Hal ini
dapat dipahami misalnya, sejak terjadinya perang teluk awal tahun 1990-an,
pemerintah Arab Saudi dan masyarakat muslimnya, menentang diundangnya angkatan
perang Amerika Serikat.[34]
Ini antara lain indikasi perkembangan panatisme Arabisme yang mereka miliki
untuk menyelesaikan persoalan/krisis teluk di negara-negara muslim tanpa
meminta bantuan negara lain, Barat.
Dalam
kebijakan politik luar negerinya, Arab Saudi telah bekerjasama dengan Iran
untuk memecahkan persoalan kesulitan air. Selanjutnya, Muktamar Alam Islami
telah dilaksanakan di Jeddah dengan tujuan untuk mewujudkan keamanan umum. Pada
tahun 1962, telah diselenggarakan lagi Muktamar Alam Islami guna menyelesaikan
krisis pengakuan dunia terhadap Bangladesh, setelah Indonesia dan Malaysia
mengakuinya terlebih dahulu. Beberapa kegiatan internasional seperti itu, tiada
lain karena pengaruh pemerintahan Arab Saudi, di samping adanya hubungan baik
dengan para pemimpin negara-negara lain, dan tokoh Islam dari berbagai negara
muslim yang datang ke Arab Saudi.
3.
Aliran Wahhabiah
Bertalian dengan Aliran Salaf
Aliran
Wahhabiah sebenarnya adalah kelanjutan dari aliran salaf yang berpangkal kepada
pemikiran-pemikiran Ahmad ibn Hambal dan yang kemudian dikonstruksikan oleh ibn Taimiyah, bahkan
aliran Wahhabiah telah menerapkannya dengan lebih luas dan dengan memperdalam
arti bid’ah. Aqidah-agidah pokok dari aliran Wahhabiah tidak berbeda dari
aliran dengan apa yang telah dikemukakan oleh ibn Taimiyah yaitu sebagai
berikut:[35]
a.
Penyembahan kepada selain Allah salah dan siapa yang berbuat demikian ia
dibunuh.
b.
Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang
saleh termasuk golongan orang musyrikin.
c.
Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak di dasarkan pada al-Qur’an
dan al-Hadis atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata.
d.
Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya al-Qur’an semata-mata
dan sumber lains sesudahnya adalah sunnah rasulullah. Perkataan mutakallimin
dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan selama tidak
didasarkan pada kedua sumber tersebut.
Hal yang
dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain adalah berkumpul
bersama dalam maulidan, wanita mengiringi jenazah, mengadakan khalaqah (zikir
bersama) bahkan merampas buku yang berisi tawas sulassulat, seperti dalail
al-Khairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup sampai disitu bahkan kebiasaan
sehari-hari juga dikategorikan bid’ah seperti merokok, memakai pakaian sutra
bagi laki-laki, bergambar (foto).[36]
4.
Cara Penyiaran Aqidah Wahhabiah.
Kalau ibn Taimiyah sebagai pembangun aliran
salaf menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan
pertukaran pemikiran serta perdebatan maka aliran Wahhabiah dalam penyiarannya
memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti
ajaran-ajarannya sebagai orang bid’ah yang harus diperangi sesuai dengan
prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.[37]
Untuk melaksanakan maksud ini, Muhammad ibn
Abd al-Wahha>b sendiri bekerja sama dengan pengeran Muhammad ibn Suud
penguasa di Da’riyah pada waktu itu yang telah memeluk ajaran-ajarannya dan
juga telah mengawini anaknya sejak saat itu kekuatan senjatalah yang dipakai
dalam penyiaran ajarannya. Setelah kedua tokoh itu meninggal dunia para
keturunannya meneruskan sikap dan kerja sama yang telah dirintis oleh keduanya
sehingga aliran Wahhabiah dapat merata diseluruh negeri Saudi Arabia.
Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukan
adalah memotong pohon korma yang dianggap keramat. Kemudian disetiap kali
golongan Wahhabiah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan
dan diratakan dengan tanah bahkan tidak sampai disitu mereka juga setelah
mengusai kota Mekah banyak tempat yang bersejarah dimusnahkan seperti tempat
kelahiran Nabi saw., Abu Bakr dan Ali dan ketika mereka sampai ke Madinah
kuburan para sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberi
tanda saja.
III.
KESIMPULAN
Bertitik tolak dari pemaparan terdahulu, maka
dapat dikatakan bahwa penelusuran sejarah perkembangan Islam di Arab Saudi,
tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam sejak masa Nabi saw, dan
masa-masa kekhalifahan sesudahnya, sampai memasuki masa pemerintahan
Sa’udiyyun. Kemudian
terbentuklah negara Arab Saudi yang diproklamirkan oleh Abd. Aziz ibn Abd.
Rahman al-Sa’ud pada tahun 1932.
Perkembangan Islam di Arab Saudi
sejak diproklamirkan sebagai sebuah negara dengan sistem kerajaan, ditandai
dengan berkembangnya paham Islam Wahhabiah yang diperlopori oleh Muhammad ibn
Abd al-Wahha>b. Wahhabiah ini meluas dan semakin eksis di Arab Saudi terutama
pada pertengahan abad ke-19 sampai abad ke-20, dan pola perkembangannya
berdasar pada top down. Sejalan
dengan perkembangan paham Wahhabiah, perkembangan Islam dari segi kelembagaan
dan pendidikan juga cukup siginifikan di Arab Saudi.
Memasuki era kontemporer, Rezim
Sa’udiyah tetap berkuasa dan populasi umat Islam kian meningkat dari masa ke
masa. Tercatat bahwa kependudukan muslim Arab Saudi mencapai 99% untuk tidak
mengatakan bahwa semuanya beragama Islam. Aliran mazhab yang dominan mereka
anut adalah Sunni dengan paham Wahhabiah, di samping itu ada juga Syī’ah dengan
populasi yang sangat sedikit, tetapi tetap memberi andil dalam sejarah
perkembangan Islam di Arab Saudi.
Faktor lain yang menyebabkan Islam
dapat berkembang di Arab Saudi di samping karena adanya faktor kesejarahan
sebagai basis umat Islam sejak masa Nabi saw, juga karena Arab Saudi menjadi
terminal berbagai informasi pembaruan dan perkembangan Islam di negara-negara
lain, termasuk corak pembaruan dan perkembangan Islam di Indonesia, ada
kaitannya dengan Arab Saudi sebagai tempat belajar para ulama Indonesia di masa
lalu, dan masa sekarang.
Dengan melihat kesimpulan
tersebut, maka implikasinya bahwa kajian tentang sejarah perkembangan Islam di
Arab Saudi, sangat memungkinkan untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Amin,
Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Cet III: Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1999.
Ali,
K., Sejarah Islam Tarikh Pramodern Cet IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003.
Arkoun, Muhammad, Arab Though diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Brockelman, Carl, History
the Islamic Peoples London: Routledge dan Kegan Paul, 1982.
Esposito, John L., The Oxford Encylopedia of The
Modern Islamic World New
York: Oxford University, 1995.
Gayo, Iwan, Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara
Baru Cet VI; Jakarta: Dipayana,
2000.
Glasse, Cyril, The
Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dengan
judul Ensiklopedi Islam; Ringkas Cet.
III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Hanafi,
A., Pengantar Teologi Islam Cet V; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
K. Hitti, Philip, History of The Arabs Cet I; Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Lapidus, M. Ira, A. History of Islamic Societies diterjemahkan
oleh Gufran A Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam Cet II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
Mufrodi,
Ali, Islam di kawasan Kebudayaan Arab
Cet I; Jakarta, Logos, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan Cet. IX; Jakarta: Bulan Ibntang 1992.
Noer, Deliar, Gerakan
Modern Islam Indonesia 1990-1942 Jakarta: LP3ES, 1980.
Thohir, Ajid, Perkembangan Islam
di Kawasan Dunia Islam Cet I;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayutullah, Ensiklopedia
Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992.
[1]Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs
(Cet I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 4.
[3]Ibid
[4]K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern (Cet
IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 27.
[6]Lihat K. Ali, op cit., h. 23.
[8]Philip K. Hitti, op cit., h. 16.
[10]http://id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saudi. 01/01/2011:
10.00 dan lihat juga Iwan Gayo, Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara
Baru (Cet VI; Jakarta: Dipayana, 2000), h. 432.
[12]Lihat Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam
Sejarah Islam (Cet III: Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 269-279.
[13]Ibid
[14]Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab
(Cet I; Jakarta, Logos, 1997), h. 151.
[15]John L. Esposito, The Oxford Encylopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford
University, 1995), h. 5.
[16]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Ibntang
1992), h. 23.
[17]Uraian lebih lanjut lihat Muhammad Arkoun, Arab
Though diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.
118-119. kemudian tentang intisari buku Risalat al-Tauhid adalah bahwa tauhid
yang dimaksudkan mengesakan Allah baik dari sifat dan zatnya, dan segala bentuk
amalan yang mengarah pada penafian wujud Allah, misalnya mendatangi makhluk,
makhluk hidup atau yang telah mati untuk meminta sesuatu adalah bentuk
kemusyrikan yang harus dibasmi. Selengkapnya lihat Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.th), h. 5-6.
[18]Harun Nasution, op. cit.,
h. 25.
[20]Carl Brockelman, History the
Islamic Peoples (London: Routledge dan Kegan Paul, 1982), h. 471.
[21]A. Hanafi, op cit., h. 154.
[22]M. Ira Lapidus, A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh
Gufran A Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam (Cet II; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2000), h. 191.
[23] John L. Esposito, op. cit.,
h. 6.
[24] M. Ira Lapidus, op. cit.,
h. 191-192.
[25] John L. Esposito, op. cit.,
h. 4.
.
[27]M. Ira Lapidus, loc. cit.
[28] John L. Esposito, op. cit.,
h. 4-5.
[29]Cyril Glasse, The Concise
Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam; Ringkas (Cet. III;
Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 356.
[30]Ajid Thohir, Perkembangan Islam di Kawasan Dunia Islam (Cet I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 237.
[31]Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 30.
[32]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayutullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 424.
[33]Lihat biografi ulama-ulama tersebut dalam ibid., h. 78-79, 309-310, dan 670.
[34] John L. Esposito, op cit.,
h. 7.
[35]A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Cet V; Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1992), h. 150.
[36]Ibid
info yang sangat bermanfaat buat aku,,thnk..
BalasHapusTulisan yang bagus, tks. dan ada yang saya kutip, mhn ijinnya:
BalasHapushttps://www.facebook.com/elfizon.anwar/posts/10208895893376137?notif_t=like¬if_id=1488509894559273
bagus
BalasHapus