Cari Blog Ini

Sabtu, 22 Oktober 2011

ISLAM DI ARAB SAUDI

PERKEMBANGAN ISLAM DI ARAB SAUDI

I.              PENDAHULUAN
Arab saudi adalah negeri kelahiran Islam, karena itu sering disebut sebagai pusat keagamaan Islam. Dua kota suci umat Islam yang sangat terkenal dan bersejarah yaitu Mekah dan Madinah. Mekah adalah kota kelahiran Nabi saw. dan tempat pertama menerima wahyu dan mendakwakan ajaran-ajaran Islam. Sementara Madinah adalah kota tempat negara Islam pertama berdiri dan dari sanalah perluasan Islam bermula.   
Agama yang dianut orang Arab, setelah agama Yahudi dan Kristen merupakan agama monoteis terakhir. Secara historis Islam merupakan penerus kedua agama sebelumnya dan dari semua agama lain di dunia, yang merupakan jalan hidup jutaan umat manusia.[1]
Di Arab Saudi, hubungan agama dengan negara terbina mesra saat bangkitnya gerakan keagamaan yang didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahha>b, gerakan ini dikenal dengan gerakan Wahabi. Ketika mencapai kekuatan politik dan militer gerakan ini secara sistematis menghancurkan segala sesuatu yang dipandang penyebab berkembangnya ajaran-ajaran bid’ah dalam Islam.
  Arab Saudi akhirnya menganut paham dan konsep agama-negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paham ini memberikan penegasan negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Dalam pergulatan Islam dengan negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama–negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian Paradigma integralistik identik dengan paham Islam al-Din wa al-Dawlah yang sumber hukumnya adalah hukum Islam (syariat Islam).  Paradigma ini antara lain dianut oleh kerajaan Saudi Arabia yang menjadikan Islam sebagai agama resmi sekaligus sebagai sistem politik, hukum, ekonomi dan budaya.
Satu hal yang menarik ketika berbicara tentang Arab saudi adalah hubungan Arab saudi dengan Wahhabiah yang membentuk simbiotik, Wahhabiah membutuhkan institusi untuk menyebarkan ajaran-ajarannya dan di sisi lain Arab Saudi juga membutuhkan Wahhabiah sebagai legetimasi agama untuk menjalankan pemerintahannya. Dan tampaknya kedua kekuatan inilah yang mewarnai Arab saudi dalam perjalanan sejarahnya hingga saat ini. 
Dari dasar inilah penulis memusatkan pembahasan dalam makalah ini kepada dua   masalah yaitu: Gambaran ringkas Arab Saudi dan sejarah perkembangan paham Islam Wahhabiah di Arab Saudi.
II.           PEMBAHASAN
A.           Gambaran Ringkas Arab Saudi
Arab Saudi atau Saudi Arabia atau Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya sebagian besar terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah Rub al-Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara. Negara ini berbatasan langsung (searah jarum jam dari arah utara) dengan Yordania, Irak, Kuwait, Teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman, dan Laut Merah.[2]
Pada tanggal 23 September 1932, Abdul Aziz  ibn Abdurrahman al-Sa'ud dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su‘udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Hail, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi raja pertama pada kerajaan tersebut.[3] Dengan demikian dapat dipahami, nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul Aziz al-Sa'ud.
Arab Saudi terkenal sebagai Negara kelahiran Nabi Muhammad saw. serta tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga pada benderanya terdapat dua kalimat syahadat yang berarti "Tidak ada tuhan (yang pantas) untuk disembah melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya".
1.    Ekonomi

Kekayaan yang sangat besar yang didapat dari minyak, sangat membantu permainan dan pembentukan kekuatan peran dari keluarga Kerajaan Saudi baik didalam maupun luar negeri. Wilayah ini dahulu merupakan wilayah perdagangan terutama di kawasan Hijaz antara Yaman-Mekkah-Madinah-Damaskus dan Palestina. Pertanian dikenal saat itu dengan perkebunan kurma dan gandum serta peternakan yang menghasilkan daging serta susu dan olahannya. Pada saat sekarang digalakkan sistem pertanian terpadu untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.[4]
Perindustrian umumnya bertumpu pada sektor Minyak bumi dan Petrokimia terutama setelah ditemukannya sumber sumber minyak pada tanggal 3 Maret 1938. Selain itu juga untuk mengatasi kesulitan sumber air selain bertumpu pada sumber air alam (oase) juga didirikan industri desalinasi Air Laut di kota Jubail. Sejalan dengan tumbuhnya perekonomian maka kota-kota menjadi tumbuh dan berkembang.
Kota-kota yang terkenal di wilayah ini selain kota suci Mekkah dan Madinah adalah Kota Riyadh sebagai ibukota kerajaan, Dammam, Dhahran, Khafji, Jubail, Tabuk dan Jeddah.[5]
2.    Politik
Arab Saudi menggunakan sistem Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat Islam dengan berdasar pada pengamalan ajaran Islam berdasarkan pemahaman sahabat Nabi terhadap al-Qur'an dan Hadis atau dengan kata lain pemahaman Ahlus Sunnah Wa al-Jamaah. Memiliki hubungan internasional dengan negara negara lain baik negara negara Arab, negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam, maupun negara negara lain.
3.    Penduduk dan Pembagian Wilayah

Keluarga suku Qurays yang dikenal sebagai bangsawan dan pemimpin bangsa Arab, turunan pendiri dan pemelihara bangunan suci Ka'bah, Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail, dimana Nabi Muhammad adalah salah satu dari Bani Hasyim Qurays, di wilayah Hijaz, sekarang merupakan salah satu suku penduduk di Saudi Arabia. Penduduk Arab Saudi adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas beragama Islam. Di daerah daerah industri dijumpai penduduk dari negara-negara lain sebagai kontraktor dan pekerja asing atau ekspatriat.[6]
Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provinsi atau manatiq (jamak dari mantiqah) yakni: Bahah, Hududusy Syamaliyah, Jauf, Madinah, Qasim, Riyadh, Syarqiyah, Arab Saudi (Provinsi Timur), 'Asir, Ha'il, Jizan, Makkah, Najran.[7]
4.    Geografi

Arab Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Luas kawasannya adalah 2.240.000 km². Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah. Permukaan terendah di sini ialah di Teluk Persia pada 0 m dan Jabal Sauda' pada 3.133 m. Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak kawasan gurun. Gurun yang terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki "Daerah Kosong" (dalam bahasa Arab, Rub al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun demikian di bagian barat dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau.[8]
Gurun adalah fitur yang paling menonjol dari Jazirah Arab. Meskipun luas, saluran kering mendominasi Arab Saudi, negara juga mencakup membentang panjang garis pantai kering sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah dan oasis besar di Provinsi Timur. Accordingly, the Saudi environment is not uniform, and the differences between coastal and desert life have played their part in Arabian history. Dengan demikian, lingkungan Saudi tidak seragam, dan perbedaan antara dan gurun kehidupan pesisir telah memainkan bagian mereka dalam sejarah Arab. Those living on the water have had more contact with other peoples and thus have developed more cosmopolitan outlooks than those living in the interior. Mereka yang hidup di air memiliki lebih banyak kontak dengan orang lain dan dengan demikian telah mengembangkan pandangan kosmopolitan lebih dari yang tinggal di pedalaman.[9]
5.    Raja-raja Arab Saudi

Daftar raja-raja Arab Saudi sebagai berikut:[10]
-          Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud)(1932-1953)
Ibnu Saud dilahirkan di Riyadh dan merupakan anak pasangan Abdul Rahman ibn Faisal dan Sara binti Ahmad al-Kabir Sudayri. Pada tahun 1890, semasa berusia sepuluh tahun, Ibnu Saud mengikuti keluarganya dalam pengasingan di Kuwait setelah direbutnya tanah keluarganya oleh dinasti Rashidi. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Kuwait dalam keadaan tidak berharta. Pada tahun 1901, semasa berusia 22 tahun, Ibnu Saud menggantikan ayahnya sebagai ketua keluarga dinasti Saud dengan gelar Sulthan Nejd. Ia kemudian memulai kampanye untuk merebut kembali tanah keluarganya dari dinasti Rashidi di tempat yang kini merupakan Arab Saudi. Pada tahun 1902, beliau bersama-sama dengan pasukan keluarga dan saudaranya berhasil merebut Riyadh dengan membunuh gubernur Rashidi di sana.
Dua tahun setelah berhasil merebut Riyadh, Ibnu Saud berhasil menguasai separuh dari Nejd. Meskipun begitu, pada tahun 1904, dinasti Rashidi meminta bantuan dari Kesultanan Utsmaniyah untuk mengalahkan dinasti Saud (Keluarga Kerajaan Saudi). Kerajaan Utsmaniyah mengirimkan pasukan ke Arabia (Tanah Arab) dan ini menyebabkan kekalahan dinasti Saud pada 15 Juni 1904, namun setelah pasukan Utsmaniyah mundur disebabkan masalah tertentu, pasukan dinasti Saud berhasil mengumpulkan kembali kekuatannya.
Pada tahun 1912, Ibnu Saud berhasil menguasai Nejd dengan bantuan dinasti Wahabi. Pada tahun 1922 dinasti Saud berhasil mengalahkan dinasti Rashidi dan ini mengakhiri penguasaan dinasti Rashidi di Tanah Arab. Pada tahun 1925, dinasti Saud berhasil merebut Kota Suci Makkah dari Syarif Hussain bin Ali. Pada 10 Januari 1926, Ibnu Saud dinobatkan menjadi Raja Hijaz di Masjidil Haram, Makkah. Pada tahun 1932, setelah menguasai sebagian besar Jazirah Arab dari musuh-musuhnya, Ibnu Saud menamakan tanah gabungan Hijaz dan Nejd sebagai Arab Saudi.
-          Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz (1953-1964)
Saud ibn ’Abd al-’Aziz al-Su’ud (12 Januari 1902 - 23 Februari 1969) ialah Raja Arab Saudi dari tahun 1953 sampai 2 November 1964. Ia adalah anak sulung Raja Ibnu Saud. Ia kemudian dilantik menjadi putera mahkota pada 11 Mei 1933 dan dinobatkan menjadi raja setelah mangkatnya ayahnya pada tahun 1953. Semasa pemerintahannya banyak kantor pemerintahan didirikan di samping pendirian Universitas Raja Su'ud di Riyadh.
Sepanjang pemerintahannya banyak ketidakpuasan disuarakan oleh anggota keluarganya sendiri. Seperti ayahandanya, ia mempunyai banyak anak lebih kurang 30 orang. Raja Saud memberi anak-anaknya kekuasaan yang tinggi di samping melantik mereka ke posisi-posisi yang penting di dalam kerajaan. Hal ini menyebabkan adik-adiknya terutama adik-adik tirinya merasa tidak puas. Mereka melihat anak-anak Raja Su'ud tidak mempunyai cukup pengalaman dalam memerintah negara di samping khawatir Raja Su'ud mungkin melantik anaknya untuk menggantikannya setelah ini. Raja Su'ud gemar membelanjakan uang negara demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia juga membuat kekisruhan politik yang antaranya dikaitkan dengan percobaan pembunuhan Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir ketika itu. Dia juga diketahui dengan sikapnya yang suka minum arak yang nyata-nyata merupakan perkara yang dilarang dalam Islam.
Sebuah perebutan kekuasaan oleh keluarganya sendiri terjadi pada tahun 1964 dengan disokong oleh golongan ulama. Walaupun Muhammad ibn Abdul Aziz Al Su'ud merupakan pewaris tahta yang paling layak namun dia enggan menerimanya dan sebaliknya menyokong pengangkatan adik tirinya yaitu Faishal ibn Abdul Aziz Al Su'ud sebagai raja. Raja Su'ud kemudian ke Jenewa, Swiss setelah diusir keluar dari Arab Saudi. Pada tahun 1966, Raja Su'ud telah dijemput oleh Presiden Gamal Abdel Nasser untuk tinggal di Mesir. Ia meninggal dunia di Athena, Yunani pada tahun 1969.
-          Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz (1964-1975)
Raja Faisal lahir di Riyadh dan merupakan anak keempat Raja Abdul Aziz Al Saud. Raja Faisal memerintah sekumpulan laskar dan berhasil memenangkan pertempuran di Hijaz. Oleh karena itu, ia dilantik menjadi Gubernur Hijaz pada tahun berikutnya. Setelah Arab Saudi didirikan, dia diberi jabatan Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada tahun 1932. Setelah resolusi PBB mengenai pemecahan Palestina dan pendirian Israel, Pangeran Faisal (masih belum menjadi raja) mendesak ayahandanya supaya memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat, tetapi desakannya itu ditolak. Selepas skandal keuangan Raja Saud, Pangeran Faisal dilantik menjadi pemerintah sementara. Pada tanggal 2 November 1964, ia dilantik menjadi raja setelah Raja Saud melarikan diri ke Yunani.
Raja Faisal melakukan banyak reformasi sewaktu menjadi raja, diantaranya adalah memperbolehkan anak-anak perempuan bersekolah, televisi, dan sebagainya. Usahanya ini mendapat tentangan dari berbagai pihak karena perkara-perkara ini dianggap bertentangan dengan Islam. Ia berasa amat kecewa saat Israel memenangkan Perang Enam Hari pada tahun 1967.
-          Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz (1975-1982)
Khalid dilantik menjadi Putera Mahkota pada tahun 1965 selepas kakaknya (kakak kandung) yaitu Muhammad ibn Abdul Aziz Al Su'ud menolak untuk menjadi raja. Ia tidak begitu berminat dengan politik dan memberikan kekuasaan pemerintahan kepada adik tirinya yaitu Putera Mahkota Fahd. Untuk memperingati penyusunan kembali Majelis Menteri-Menteri pada tahun 1975, Raja Khalid mengangkat Putera Mahkota Fahd sebagai Wakil Perdana Menteri. Pada tahun 1976, Raja Khalid terpaksa pergi ke Amerika Serikat untuk mendapatkan perawatan disebabkan masalah jantung. Raja Khalid menanyakan kepada Presiden Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat ketika itu untuk menjual pesawat pejuang kepada Arab Saudi untuk memberantas kegiatan komunis di sana. Pengantaran pertama enam belas buah pesawat pejuang F-15 di bawah perjanjian dengan Presiden Carter tiba pada tahun 1982. Sebagian pemerhati luar menggangap senjata tradisional dan lama tidak lagi sesuai digunakan di Arab Saudi. Pendapat ini ternyata tepat saat sekurang-kurangnya 500 teroris menawan Masjidil Haram di Mekkah pada 20 November 1979.
Ia membuat keputusan untuk membawa masuk buruh asing ke dalam negara untuk membantu pembangunan negara. Raja Khalid meninggal dunia akibat serangan jantung. Ia digantikan oleh Putera Mahkota Fahd.
-          Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz (1982-2005)
Pada tahun 1953, dalam usia 30 tahun, Fahd dilantik sebagai Menteri Pendidikan oleh ayahnya, Raja Abdul aziz ibn Abdulrahman Al-Saud. Kemudian pada tahun 1962 dia menjadi Menteri Dalam Negeri. Lima tahun kemudian, Fahd menjadi Wakil Perdana Menteri Kedua. Pada 25 Maret 1975, Raja Faisal dibunuh keponakannya dan Raja Khalid naik takhta. Fahd dipilih menjadi Putra Mahkota dan Wakil Perdana Menteri Pertama. Pada masa-masa akhir pemerintahan Raja Khalid, Fahd dipandang sebagai perdana menteri de facto.
Saat Raja Khalid meninggal dunia pada 13 Juni 1982, Fahd menjadi penerus takhta. Dia membangun ekonomi Arab Saudi dan menjalin hubungan yang erat dengan pemerintah Amerika Serikat. Raja Fahd terkena stroke pada tahun 1995 dan kondisinya melemah. Tugas menjalankan kerajaan pun diberikan kepada Putra kota Abdullah. Raja Fahd wafat pada 1 Agustus 2005.
-          Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz (2005- sekarang)
Abdullah ibn Abdul Aziz al-Saud, lahir 1 Agustus 1924; umur 86 tahun) adalah Raja Arab Saudi yang keenam. Setelah tampil sebagai Pangeran Abdullah, ia mencapai puncak kekusaan pada 1 Agustus 2005 sesaat setelah wafatnya Raja Fahd. Ia sudah tampil sebagai penguasa de facto dan dimungkinkan tampil menggantikan sebagai Raja Arab Saudi sejak tahun 1995 ketika Raja Fahd mengalami penurunan kesehatan akibat terserang stroke. Akhirnya, memang pada 3 Agustus 2005, ia menyandang gelar Raja setelah wafatnya raja terdahulu.
Ia adalah salah satu dari 37 putra Raja Abdulaziz ibn Abdulrahman Al-Saud (pendiri Arab Saudi modern) yang lahir dari rahim Fahada bnti Asi-al Syuraim yang adalah istri kedelapan Abdul Aziz dari keluarga Rasyid. Ia menerima pendidikan di Sekolah Kerajaan Princes' School dari pejabat-pejabat dan tokoh-tkoh intelektual keagamaan dan dibesarkan di bawah pengawasan ketat Raja Abdul Aziz yang adalah ayahnya. Pangeran Abdullah dikenal sangat kuat memegang ajaran agama dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap rakyat dan Tanah Air. Ia langsung mendapat pendidikan dari para ulama senior Arab Saudi di bidang agama, sejarah, politik, dan sosiologi.

B.    Sejarah Perkembangan Paham Islam Wahhabiah di Arab Saudi
1.         Riwayat Pendiri  Wahhabiah
Muhammad  ibn Abd al-Wahhāb, yang memiliki nama lengkap Muhammad ibn Abd al-Wahhāb ibn Sulaiman ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid ibn Barid ibn Muhammad ibn al-Masyarif al-Tamimi al-Hambali al-Najdi. Syeikh Muhammad ibn Abd al-Wahha>b dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.[11]
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka  Muhammad ibn Abd al-Wahha>b sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abd al-Wahha>b. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya,  Muhammad ibn Abd al-Wahha>b berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah. Saudara kandungnya, Sulaiman ibn Abd al-Wahha>b, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abd al-Wahha>b , ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".[12]
Salah satu tempat belajarnya adalah Madinah pada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayya>t al-Sindi. Ia banyak mengadakan perlawatan dan sebagian hidupnya digunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Empat tahun di Bashrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan dan selanjutnya ke Qumm dan kairo sebagai penganjur aliran Ahmad ibn Hambal. Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, ia kemudian pulang ke tanah kelahirannya dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya antara lain dari kalangan keluarganya sendiri namun ia mendapat pengikut yang banyak bahkan banyak diantaranya dari luar Uyainah.[13]
2.         Perkembangan Paham Wahhabiah
Pemikiran Muhammad Abd al-Wahha>b mempengaruhi dunia Islam di masa modern sejak abad ke-19. Walalupun ia hidup di abad sebelumnya tetapi pemikirannya mengilhami gerakan-gerakan pembaharuan dalam dunia Islam pada abad setelahnya bahkan sisa-sisanya masih terasa hingga kini. Pemikiran keagamaan yang dibawahnya difokuskan pada pemurnian tauhid, oleh karenanya kelompok ini menamakan dirinya sebagai muawwihdun. Sebutan wahhabiyah adalah nama yang diberikan kepada kaum itu oleh lawan-lawanya. Karena pinpinanya bernama Muhammad ibn Abd al-Wahha>b [14].
John L. Esposito menyatakan bahwa gerakan Wahhabiah di Arab Saudi mulai meluas terutama pada pertengahan abad ke-19.[15] Walaupun pada kenyataannya dalam sejarah Islam, munculnya gerakan Wahhabiah tersebut telah ada sejak abad ke-17 yang dipelopori oleh Muhammad Abd. al-Wahha>b (1703-1787 M). Abad ke-17 ini yang dimaksudkan dalam periodesasi sejarah yang disebutkan tadi adalah abad rasionalisme, dan memang dipahami bahwa Wahhabiah menganut paham rasional, dan modern, bukan paham jabariah (fatalisme) dan tradisional.
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad Abd. al-Wahhab adalah, untuk memperbaiki kedudukan umat Islam, dan gerakan ini bukan timbul sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di kerajaan Utsmani dan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemudian paham tauhid mereka dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 memang tersebar luas di dunia Islam.[16] Di tiap negara yang dikunjunginya, Muhammad Abd. al-Wahhab melihat kuburan-kuburan Syekh tarekat, dan di sana mereka (umat Islam) naik haji, meminta-meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di dalamnya.
Keadaan seperti yang disebutkan di atas dalam keyakinan Muhammad Abd. al-Wahha>b adalah salah bentuk syirik yang harus dibasmi dengan cara mendakwahkan konsep tauhidnya dengan prinsip bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan karena itu, dilarang keras bagi umat Islam ketika itu berkunjung ke kuburan para syekh, waliyullah. Pemikiran Muhammad Abd. al-Wahha>b ini, kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad dengan menerbitkan sebuah buku khusus yang berjudul Risalāt al-Tauhid.[17] Muhammad Abd. al-Wahhab bukan hanya seorang teori yang mengembangkan gerakan dakwah, tetapi ia juga seorang pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat sokongan dari Muhammad Ibn Sa’ud dan Putranya Abd. al-Aziz di Nejd.[18]
Berdasarkan pada apa yang dikemukakan di atas, praktis bahwa penerimaan paham Wahhabiah cepat berkembang di wilayah Arab Saudi ketika itu yang terutama pada masa Muhammad ibn Sa’ud dan putranya. Berkenaan dengan itu juga, memang dalam teori umum penyebaran Islam dan paham keislaman dipahami bahwa bila raja yang telah menerima Islam, besar kemungkinan Islam tersebut diikuti oleh masyarakatnya, termasuk paham keagamaan yang dianut oleh raja cepat berkembang.
Secara jelas John L. Esposito menyatakan bahwa perkembangan Wahhabiah di Arab Saudi mencapai puncaknya sejak ke-19 sampai memasuki abad ke-20, berikut ini, dikutip pernyataannya:
“Ibn Abd. al-Wahha>b and Muhammad ibn Sa’ud propagated Ibn Abd. al- Wahhab’s ideas and began a wave of expansion that, by the opening of the nineteenth century, ctilminated in the conquest of mots of the Arabian Peninsula... the social, religious, and political agenda set forth in Wahhabi ideology remained firmly rooted througtout, to be revived at the opening of the twentith century”.[19]
Artinya: Ibn Abd. al-Wahhab dan Muhammad Ibn Sa’ud menyebar luaskan ide-ide Ibn Abd. al-Wahhab dan memulai gelombang ekspansi yang, pada awal abad ke-19, berpuncak pada penaklukan sebagian besar Semenanjung Arab... agenda sosial keagamaan, dan politik yang berangkat dari Wahhabiyah tetap berurat akar yang bangkit kembali ketika memasuki abad ke-20”.
Demikianlah paham Wahhabiah di Arab Saudi, terus mengalami perkembangan walaupun menurut Carl Brockelman bahwa paham tersebut nyaris padam, namun ibn Sa’ud mampu menghidupkan kembali semangatnya dengan mendirikan organisasi ikhwan.[20] Hidupnya kembali, dan berkembangnya lebih lanjut paham Wahhabiah bukan saja di Arab Saudi, tetapi juga di berbagai negara, ketika para ulama datang ke tanah suci, mereka belajar tentang paham tersebut kemudian mengembangkan lebih lanjut di negeri asal mereka. Ke India di bawa oleh Haji Ahmad, ke Afrika Utara oleh al-Sanusi, ke Yaman oleh al-Syaukani, ke Sudan oleh Usman Danfuju dan ke Mesir oleh Muhammad Abduh. Demikian pula ke Indonesia dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan.[21]
Di sisi lain, secara turun temurun berkembangnya paham Wahhabiah di Arab Saudi, sebab ulama negeri ini dominan keturunan Abd. al-Wahha>b, yang menikahi keluarga penguasa.[22] Artinya bahwa di samping perkembangannya melalui jalur dakwah, juga karena adanya jalur pernikahan. Dengan pemelukan ibn Sa’ud dan keluarganya terhadap Wahhabiah, atau Wahabisme, dan menjadikannya sebagai ideologi agama, tentu saja para pengikutnya terus mengembangkan paham tersebut, dan memasukkan pada versi Islam reformatif yang rasional. Sebagaimana imam pergerakan Wahhabiah mereka menjadi pimpinan spiritual juga sebagai pimpinan duniawi.
Sejalan dengan perkembangan paham Wahhabiah, perkembangan Islam dari segi kelembagaan, yakni organisasi-organisasi lembaga keagamaan juga cukup signifikan. Pada periode tahun 1990-an, legitimisasi kerajaan terus bertumpuh pada keluarga al-Sa’ud dengan persetujuan lembaga ulama. Lembaga keagamaan yang paling berpengaruh di Arab Saudi adalah Dewan Ulama Senior (Council of Senior Ulama) yang dibentuk oleh negara. Salah satu tugas dewan ini adalah memberi persetujuan keagamaan terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai contoh pendidikan bagi perempuan yang dimulai pada tahun 1960, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Faysal, disetujui oleh para ulama dengan ketentuan bahwa pendidikan perempuan diterima sepanjang sesuai dengan peranan keislaman perempuan sebagai isteri dan ibu.[23] Berkaitan dengan inilah, praktis bahwa dalam bidang pendidikan juga mengalami perkembangan.
M. Ira Lapidus sesuai hasil penelitiannya menyatakan bahwa, telah terjadi revolusi di Arab Saudi pada bidang pendidikan. Tepatnya tahun 1980 diperkirakan satu juta anak telah merasakan pendidikan di sekolah, termasuk di dalamnya kaum perempuan, sekitar 40.000 pelajar belajar di Perguruan Tinggi Sa’udi, dan terdapat sekitar 15.000 yang menempuh pendidikan di luar negeri. Jumlah warga Arab Saudi yang didik untuk mengisi pekerjaan teknik dalam industri, perminyakan, perdagangan, pertanian, keuangan, komunikasi, dan militer berkembang pesat.[24] Sejalan dengan itu, dan di tengah perubahan sosial, dan perkembangan dunia pendidikan yang telah disebutkan, tetap saja Arab Saudi mempertahankan otoritas paham keagamaan (Wahhabiah). Namun demikian, Kendatipun Arab Saudi sepenuhnya berpaham Wahhabiah, dan agenda pemerintahannya banyak ditentukan pada ulama-ulama mereka yang juga berpaham Wahhabiah, tentu saja sekelompok kecil non-Wahhabiah tetap ada di sana. Diprediksi bahwa Syī’ah juga ada, terutama di sekitar kota Mekkah, dan hal tersebut boleh jadi karena seiring dengan banyaknya penduduk luar yang datang dan menetap di sana, baik dalam rangka untuk menuntut ilmu, dan juga sebagai pekerja. Yang jelasnya perkembangan penduduk umat Islam secara umum di Arab Saudi mengalami peningkatan dari masa ke masa.
Rezim Sa’udi yang terbagun kuat di Arab Saudi, dan atas kentalnya paham Islam yang mereka anut menjadikan perkembangan Islam dari segi populasi kian meningkat dari masa ke masa, terutama ketika memasuki era kontemporer dewasa ini, di mana era tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap semakin kuatnya Islam di Arab Saudi.
Kependudukan Arab Saudi yang kesemuanya muslim menurut perkiraan pemerintah pada tahun 1990, berjumlah sekitar 15 juta jiwa.[25] Satu tahun berikutnya, 1991 menurut yang dikemukakan Iwan Gayo, penduduknya menjadi 17.869.000 jiwa.[26] Ini berarti bahwa perkembangan populasi umat muslim dalam satu tahun saja sangat cepat, dan karena itu diproyeksikan untuk tahun ini, lebih meningkat lagi dan dipastikan bahwa kesemuanya muslim. Perkembangan yang demikian meningkat ini, sejalan dengan masuknya arus tenaga asing muslim ke Arab Saudi jauh sebelum tahun-tahun yang disebutkan tadi. Mereka datang ke Arab Saudi dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan M. Ira Lapidus bahwa pada tahun 1975 diperkirakan 43 persen jumlah penduduk adalah pekerja asing dari Yaman, Oman, Mesir, dan Pakistan.[27]
Juga telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa selain perkembangan umat Islam yang bermazhab Sunni dengan paham Wahhabiah di Arab Saudi, tetap juga ada yang bermazhab Syī’ah, dan jumlah penduduk Syī’ah yang dimaksudkan berkisar antara 200 sampai 500 ribu.[28] Sejumlah kecil pengikut Syī’ah dua belas di propinsi bagian Timur. Di antara penduduk tetap Arab Saudi adalah orang Yaman yang menganut Syī’ah Zaidiyah menetap di propinsi bagian selatan.[29] Tentu saja mereka ini, turut memberi sumbangsi bagi perkembangan Islam di Arab Saudi.
Faktor lain yang menyebabkan Islam dapat berkembang di Arab Saudi di samping karena adanya faktor kesejarahan sebagai basis umat Islam sejak masa Nabi saw, juga karena Arab Saudi menjadi terminal berbagai informasi pembaruan di dunia Islam era kontemprer.[30] Deliar Noer menyatakan bahwa proses terjadinya pembaruan di Indonesia adalah sejak tahun 1886, dan pembahruan ini bermula dari banyaknya orang-orang Indonesia di zaman Hindia Belanda ketika itu yang pergi haji ke Mekkah. Sebagai catatan, pada tahun 1890 terdapat sebanyak 7.000 orang yang pergi melaksanakan ibadah haji. Kemudian antara 1899-1909 rata-rata terdapat 7.300 orang.[31] Di samping mereka berhaji, juga kebanyakan menetap di sana memperdalam ilmu agama kemudian dalam waktu yang lama baru kembali ke Indonesia. Di antara ulama yang bisa disebutkan di sini adalah Syekh Nawawi dari Banten yang separuh umur hidupnya di Mekkah, sebelum kembali ke Indonseia (Banten), ia sempat menulis tafsir di Mekkah, dan mendapat pengakuan ulama-ulama Hijaz.[32]
Di samping Imam Nawawi, adalah K. H. Ahmad Dahlan pendiri ormas Islam Muhammadiyah Ulama, dan Hadratus Syaikh Hasyim al-Asy’ariy pendiri Nahlattil Ulama (NU) banyak menghabiskan waktunya di Mekah, Arab Saudi, termasuk ulama kharisma Sulsel, K. H. Muhammad As’ad pendiri As’adiyah Sengkang lama menetap di Mekkah, dan pernah menjadi imam di Masjid Haram.[33] Dewasa ini, Arab Saudi tidak saja dibanjiri oleh orang yang hendak naik haji dan berumrah, tetapi juga para penuntut ilmu agama berkunjung ke sana sebagaimana yang telah dilakukan ulama-ulama terdahulu, hal ini juga merupakan indikasi tentang bertambahnya dan berkembangnya populasi muslim di Arab Saudi.
Selain dari segi perkembangan populasi, perkembangan Islam di Arab Saudi dapat pula dilihat dari segi politik Islam yang dimainkan pemerintah. Hal ini dapat dipahami misalnya, sejak terjadinya perang teluk awal tahun 1990-an, pemerintah Arab Saudi dan masyarakat muslimnya, menentang diundangnya angkatan perang Amerika Serikat.[34] Ini antara lain indikasi perkembangan panatisme Arabisme yang mereka miliki untuk menyelesaikan persoalan/krisis teluk di negara-negara muslim tanpa meminta bantuan negara lain, Barat.
Dalam kebijakan politik luar negerinya, Arab Saudi telah bekerjasama dengan Iran untuk memecahkan persoalan kesulitan air. Selanjutnya, Muktamar Alam Islami telah dilaksanakan di Jeddah dengan tujuan untuk mewujudkan keamanan umum. Pada tahun 1962, telah diselenggarakan lagi Muktamar Alam Islami guna menyelesaikan krisis pengakuan dunia terhadap Bangladesh, setelah Indonesia dan Malaysia mengakuinya terlebih dahulu. Beberapa kegiatan internasional seperti itu, tiada lain karena pengaruh pemerintahan Arab Saudi, di samping adanya hubungan baik dengan para pemimpin negara-negara lain, dan tokoh Islam dari berbagai negara muslim yang datang ke Arab Saudi.
3.         Aliran Wahhabiah Bertalian dengan Aliran Salaf
Aliran Wahhabiah sebenarnya adalah kelanjutan dari aliran salaf yang berpangkal kepada pemikiran-pemikiran Ahmad ibn Hambal dan yang kemudian  dikonstruksikan oleh ibn Taimiyah, bahkan aliran Wahhabiah telah menerapkannya dengan lebih luas dan dengan memperdalam arti bid’ah. Aqidah-agidah pokok dari aliran Wahhabiah tidak berbeda dari aliran dengan apa yang telah dikemukakan oleh ibn Taimiyah yaitu sebagai berikut:[35]
a.    Penyembahan kepada selain Allah salah dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b.    Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh termasuk golongan orang musyrikin.
c.    Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata.
d.   Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya al-Qur’an semata-mata dan sumber lains sesudahnya adalah sunnah rasulullah. Perkataan mutakallimin dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan selama tidak didasarkan pada kedua sumber tersebut.

Hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain adalah berkumpul bersama dalam maulidan, wanita mengiringi jenazah, mengadakan khalaqah (zikir bersama) bahkan merampas buku yang berisi tawas sulassulat, seperti dalail al-Khairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup sampai disitu bahkan kebiasaan sehari-hari juga dikategorikan bid’ah seperti merokok, memakai pakaian sutra bagi laki-laki, bergambar (foto).[36]
4.         Cara Penyiaran Aqidah Wahhabiah.
Kalau ibn Taimiyah sebagai pembangun aliran salaf menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran pemikiran serta perdebatan maka aliran Wahhabiah dalam penyiarannya memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya sebagai orang bid’ah yang harus diperangi sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.[37]
Untuk melaksanakan maksud ini, Muhammad ibn Abd al-Wahha>b sendiri bekerja sama dengan pengeran Muhammad ibn Suud penguasa di Da’riyah pada waktu itu yang telah memeluk ajaran-ajarannya dan juga telah mengawini anaknya sejak saat itu kekuatan senjatalah yang dipakai dalam penyiaran ajarannya. Setelah kedua tokoh itu meninggal dunia para keturunannya meneruskan sikap dan kerja sama yang telah dirintis oleh keduanya sehingga aliran Wahhabiah dapat merata diseluruh negeri Saudi Arabia.
Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukan adalah memotong pohon korma yang dianggap keramat. Kemudian disetiap kali golongan Wahhabiah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah bahkan tidak sampai disitu mereka juga setelah mengusai kota Mekah banyak tempat yang bersejarah dimusnahkan seperti tempat kelahiran Nabi saw., Abu Bakr dan Ali dan ketika mereka sampai ke Madinah kuburan para sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberi tanda saja.

III.        KESIMPULAN
Bertitik tolak dari pemaparan terdahulu, maka dapat dikatakan bahwa penelusuran sejarah perkembangan Islam di Arab Saudi, tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam sejak masa Nabi saw, dan masa-masa kekhalifahan sesudahnya, sampai memasuki masa pemerintahan Sa’udiyyun. Kemudian terbentuklah negara Arab Saudi yang diproklamirkan oleh Abd. Aziz ibn Abd. Rahman al-Sa’ud pada tahun 1932.
Perkembangan Islam di Arab Saudi sejak diproklamirkan sebagai sebuah negara dengan sistem kerajaan, ditandai dengan berkembangnya paham Islam Wahhabiah yang diperlopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahha>b. Wahhabiah ini meluas dan semakin eksis di Arab Saudi terutama pada pertengahan abad ke-19 sampai abad ke-20, dan pola perkembangannya berdasar pada top down. Sejalan dengan perkembangan paham Wahhabiah, perkembangan Islam dari segi kelembagaan dan pendidikan juga cukup siginifikan di Arab Saudi.
Memasuki era kontemporer, Rezim Sa’udiyah tetap berkuasa dan populasi umat Islam kian meningkat dari masa ke masa. Tercatat bahwa kependudukan muslim Arab Saudi mencapai 99% untuk tidak mengatakan bahwa semuanya beragama Islam. Aliran mazhab yang dominan mereka anut adalah Sunni dengan paham Wahhabiah, di samping itu ada juga Syī’ah dengan populasi yang sangat sedikit, tetapi tetap memberi andil dalam sejarah perkembangan Islam di Arab Saudi.
Faktor lain yang menyebabkan Islam dapat berkembang di Arab Saudi di samping karena adanya faktor kesejarahan sebagai basis umat Islam sejak masa Nabi saw, juga karena Arab Saudi menjadi terminal berbagai informasi pembaruan dan perkembangan Islam di negara-negara lain, termasuk corak pembaruan dan perkembangan Islam di Indonesia, ada kaitannya dengan Arab Saudi sebagai tempat belajar para ulama Indonesia di masa lalu, dan masa sekarang.
Dengan melihat kesimpulan tersebut, maka implikasinya bahwa kajian tentang sejarah perkembangan Islam di Arab Saudi, sangat memungkinkan untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Cet III: Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pramodern Cet IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Arkoun, Muhammad, Arab Though diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Brockelman, Carl, History the Islamic Peoples  London: Routledge dan Kegan Paul, 1982.
Esposito, John L., The Oxford Encylopedia of The Modern Islamic World  New York: Oxford University, 1995.
Gayo, Iwan,  Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara Baru  Cet VI; Jakarta: Dipayana, 2000.
Glasse, Cyril, The Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam; Ringkas  Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Hanafi, A., Pengantar  Teologi Islam  Cet V; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.


K. Hitti, Philip, History of The Arabs Cet I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Lapidus, M. Ira, A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Gufran A Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam  Cet II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Mufrodi, Ali, Islam di kawasan Kebudayaan Arab  Cet I; Jakarta, Logos, 1997.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan  Cet. IX; Jakarta: Bulan Ibntang 1992.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1990-1942  Jakarta: LP3ES, 1980.

Thohir, Ajid, Perkembangan  Islam di Kawasan Dunia Islam  Cet I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.  

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayutullah, Ensiklopedia Islam Indonesia  Jakarta: Djambatan, 1992.


[1]Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs (Cet I; Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 4.
[3]Ibid

[4]K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern (Cet IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 27.
[6]Lihat K. Ali, op cit., h. 23.
  
[8]Philip K. Hitti, op cit., h. 16.

[9]Ibid., h. 7.

[10]http://id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saudi. 01/01/2011: 10.00 dan lihat juga Iwan Gayo,  Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara Baru (Cet VI; Jakarta: Dipayana, 2000), h. 432.

[12]Lihat Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Cet III: Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 269-279.

[13]Ibid

[14]Ali Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab (Cet I; Jakarta, Logos, 1997), h. 151.

[15]John L. Esposito, The Oxford Encylopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University, 1995), h. 5.

[16]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Ibntang 1992), h. 23.

[17]Uraian lebih lanjut lihat Muhammad Arkoun, Arab Though diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dengan judul Pemikiran Arab (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 118-119. kemudian tentang intisari buku Risalat al-Tauhid adalah bahwa tauhid yang dimaksudkan mengesakan Allah baik dari sifat dan zatnya, dan segala bentuk amalan yang mengarah pada penafian wujud Allah, misalnya mendatangi makhluk, makhluk hidup atau yang telah mati untuk meminta sesuatu adalah bentuk kemusyrikan yang harus dibasmi. Selengkapnya lihat Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th), h. 5-6.

[18]Harun Nasution, op. cit., h. 25.

[19]John L. Esposito, op cit., h. 5.

[20]Carl Brockelman, History the Islamic Peoples (London: Routledge dan Kegan Paul, 1982), h. 471.

[21]A. Hanafi, op cit., h. 154.

[22]M. Ira Lapidus, A. History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Gufran A Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam (Cet II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),  h. 191.

[23] John L. Esposito, op. cit., h. 6.

[24] M. Ira Lapidus, op. cit., h. 191-192.
[25] John L. Esposito, op. cit., h. 4.

[26] Iwan Gayo, loc. cit
.
[27]M. Ira Lapidus, loc. cit.

[28] John L. Esposito, op. cit., h. 4-5.

[29]Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam; Ringkas (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 356.

[30]Ajid Thohir, Perkembangan  Islam di Kawasan Dunia Islam (Cet I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002),  h. 237.

[31]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 30.

[32]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayutullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 424.

[33]Lihat biografi ulama-ulama tersebut dalam ibid., h. 78-79, 309-310, dan 670.

[34] John L. Esposito, op cit., h. 7.

[35]A. Hanafi, Pengantar  Teologi Islam (Cet V; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 150.

[36]Ibid

[37]Ibid., h. 151-152.

3 komentar:

  1. info yang sangat bermanfaat buat aku,,thnk..

    BalasHapus
  2. Tulisan yang bagus, tks. dan ada yang saya kutip, mhn ijinnya:

    https://www.facebook.com/elfizon.anwar/posts/10208895893376137?notif_t=like&notif_id=1488509894559273

    BalasHapus