Cari Blog Ini

Selasa, 25 Oktober 2011

TABEL PERBANDINGAN ILMU WARIS

PERSPEKTIF FIQH DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DI INDONESIA
dalam perkembangan agama, para pemeluk teguh sesering bertikai soal otentisitas. Otentisitas menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran. seringkali diabaikan di tengah hiruk pikuk proses sosial, politik dan budaya mempengaruhi pemikiran dan perumusan ajaran, termasuk fikih mawaris
TABEL PERBANDINGAN ILMU WARIS

Pengertian Fiqih Siyasah

Materi Kuliah

Secara harfiyah (leksikal), fiqh mengandung arti tahu, paham, dan mengerti. Arti ini dipakai secara khusus dalam bidang hukum agama atau yurisprudensi Islam (menurut Ibnu al-Mandzur dalam Lisan al-’Arab. Menurut istilah, fiqh (fikih) adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syaria’t, yang bersifat amaliah (praktis), yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci ( seperti pendapat Abu Zahrah, dibawah ini);
الفقه : العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من اد لتهاالثفصيلية.
Fikih juga merupakan pengetahuan tentang hukum agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah yang disusun dengan jalan ijtihad. Kata siyasah bersal dari akar kata ساس- سياســة yang artinya mengatur, mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Di dalam Kamus al-Munjid dan Lisan al-’Arab, kata siyasah kemudian diartikan pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan atau perekayasaan. Untuk selanjutnya al-siyasah kadang-kadang diartikan, memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan.
Makna istilah, fiqh siyasah atau siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
1. Menurut Ahmad Fathi;
تد بير مصـــالح العباد على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari’at al-Islamiyah).
2. Menurut Ibnu’Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah adalah;
ماكان فعلا يكون منه النـاس أقرب الي المصلحة (الصلاح) وأبعد عن الفسـاد وإن لم يكن يشرعه الرسول ولانزل به وحي. .
”Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan (kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan), meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya”.
3. Menurut Ibnu ’Abidin yang dikutip oleh Ahmad Fathi adalah; kesejahteraan manusia dengan cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah berasal dari Muhammad saw, baik tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.
4. Menurut Abd Wahab al-Khallaf;
تد بير الشئو ن العـامة للد ولة الإســلامية بمايكفل تحقيق المصــالح ود فع المضار مما لا يتعدى حدود الشريعة وأصولها الكلية وإ لم يتفق بأقوال الأئمة المجتهـــد ين.
”Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (bahaya) dengan tidak melampaui batas-batas syari’ah dan pokok-pokok syari’ah yang bersifat umum, walaupun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid”.
Maksud Abd Wahab tentang masalah umum negara antara lain adalah ;
a. Pengaturan perundangan-undangan negara.
b. Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
c. Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
d. Urusan dalam dan luar negeri.
5. Menurut Abd al-Rahman Taj; siyasah syar’iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa syari’at dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang universal (kully), untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat kemasyarakatan, meskipun hal tersebuttidak ditunjukkan oleh nash-nash yang terinci dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah.
6. Ibn Taimiyah menganggap bahwa norma pokok dalam makna kontekstual ayat 58 dan 59 surat al-Nisa [3], tentang dasar-dasar pemerintahan adalah unsur penting dalam format siyasah syar’iyah. Ayat pertama berhubungan dengan penguasa, yang wajib menyampaikan amanatnya kepada yang berhak dan menghukumi dengan adil, sedangkan ayat berikutnya berkaitan dengan rakyat, baik militer maupun sipil, yang harus taat kepada mereka. Jika meminjam istilah untuk negara kita adalah; Penguasa sepadan dengan legislatif, yudikatif dan eksekutif (trias politika)dan rakyat atau warga negara.
7. Sesuai dengan pernyataan Ibn al-Qayim, siyasah syar’iyah harus bertumpu kepada pola syari’ah. Maksudnya adalah semua pengendalian dan pengarahan umat harus diarahkan kepada moral dan politis yang dapat mengantarkan manusia (sebagai warga negara) kedalam kehidupan yang adil, ramah, maslahah dan hikmah. Pola yang berlawanan dari keadilan menjadi dzalim, dari rahmat menjadi niqmat(kutukan), dari maslahat menjadi mafsadat dan dari hikmah menjadi sia-sia.
Seperti halnya beberapa definisi di atas, siyasah syar’iyah mengisyaratkan dua unsur penting yang berhubungan secara timbal balik (kontrak sosial), yaitu 1). Penguasa atau yang mengatur dan 2). Rakyat atau warga negara. Dilihat dari norma-norma pokok yang terlibat dalam proses siyasah syar’iyah ini, ilmu ini layak masuk kategori ilmu politik. Hal ini sejalan dengan sinyalemen Wiryono Prodjodikoro: ”Dua unsur penting dalam bidang politik yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat”. Pola siyasah syar’iyah dan politik memiliki kemiripan jika dilihat secara umum. Akan tetapi jika diperhatikan dari fungsinya mengandung peredaan. Menurut Ali Syari’ati siyasah syar’iyah memiliki fungsi ganda yaitu khidmah (pelayanan) dan islah (arahan/bimbingan), sedangkan politik berfungsi hanya untuk pelayanan (khidmah) semata-mata. Kemudian siyasah dilihat dari modelnya dibagi atas dua macam a). Siyasah syar’iyah; siyasah yang berorientasi pada nilai-nilai kewahyuan (syari’at) atau model politik yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum syari’at dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara b). Siyasah wadh’iyah; siyasah yang didasarkan atas pengalaman sejarah maupun adat istiadat atau semata-mata dihasilkan dari akal pikir manusia dalam mengatur hidup bermasyarakat maupun bernegara. Meskipun aplikasi siyasah syar’iyah dan siyasah wadh’iyah mengandung perbedaan, tentu saja tidak harus diklaim bahwa siyasah syar’yyah harus diberlakukan di negara-negara yang mayoritas muslim. Karena dalam pengalaman empiris, dapat terjadi siyasah wadh’iyah dapat diterima oleh kaum muslimin, seperti Indonesia.
Bidang siyasah syar’iyyah prinsip-prinsip pokok yang menjadi acuan pengendalian dan pengarahan kehidupan umat bertumpu pada rambu-rambu sayri’ah. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pokok dalam fiqih secara umum pula. Rambu-rambu siyasah syar’iyyah adalah (1) dalil-dalil kulliy, baik terdapat dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits; (2) maqasid al-syari’ah; (3) semangat ajaran (hikmat al-tasyri’) dan (4) kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyyah. Dengan demikian siyasah syar’iyyah juga disebut fiqh siyasah.

Silabus Fiqih Siyasah


MATA KULIAH            : FIQIH SIYASAH
PROGRAM STUDI      : ILMU POLITIK
FAKULTAS                    : USHULUDDIN DAN FILSAFAT
BOBOT SKS                  : 2 (DUA) SKS
DOSEN :                        DR. ABDILLAH MUSTARI, M.Ag
TOPIK INTI
  1.  Pengertian Fiqih Siyasah
  2. ObyeK kajian dan metode mempelajari Fiqih Siyasah
  3. Manfaat Fiqih Siyasah dan hubungannya dengan ilmu lain
  4. Nilai-nilai dasar dalam Fiqih Siyasah
  5. Hubungan agama, Negara dan Hukum
  6. Bentuk dan sistem pemerintahan dalam Islam
  7. Prinsip-prinsip Negara Hukum dalam perspektif syari’ah
  8.  Prinsip-prinsip kekuasaan  politik dalam perspektif syari’ah
  9. Implementasi prinsip-prinsip Negara Hukum
a.         Masa Rasulullah saw.,  
b.         Masa Khulafa al-Rasyidun
c.          Bani Umayah
d.         Bani Abbasiyah

Referensi
1.       Abdul Wahab Khallaf, al-Siyasah al-Syari’ah
2.       Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah
3.       Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi (system Pemerintahan Islam)
4.       Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum
5.       Abdul Muin Salim; Fiqih Siyasah (Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran)
6.       Beni Ahmad Saibani, Fiqih Siyasah

Senin, 24 Oktober 2011

SILABUS HUKUM KEWARISAN

HUKUM PERKAWINAN NEGARA MUSLIM



            Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas,  yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan,  masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya,  masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).   
1.Masalah batas umur untuk kawin.
            Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan  Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa  perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270).     Batas umur kawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin  baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki  relatif tinggi.
Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah  itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).
            Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang  lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).
            Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).
2.Masalah pencatatan perkawinan.
            Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting deperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami  sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini ( Siraj,1993:105).   
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia  umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka tasanya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah benmtuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).   
            Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).
Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.         
Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau menmgiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).
            Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112). 
3. Masalah cerai di depan pengadilan
            Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak  dari suami, baik secara lisan maupun  tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).
Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku. 
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberianmutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).      
            Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang pengadilan, praktis konsep talak tiga yang diajtuhkan sekaligus juga tidak berlaku lagi. Demikian juga di Mesir. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak wanita (Mudzhar,1999:116).
4. Poligami
            Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis dilarang.   
            Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam ( Mahmood,1987: 273-274).
            Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satuy tahjun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan [poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).     
            Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246).   
            Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).
            Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi pembatasan polgami adalah dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain, si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri (Mudzhar,1999:117). Munculnya berbagai peraturan perundang-undangan di negara-negara muslim tersebut, terutama dalam bidang pernikahan, hendaklah dipahami sebagai langkah dan cara untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan keluarga yang dicita-citakan Islam.   

Sabtu, 22 Oktober 2011

Poligami dalam Perundang-undangan kontemporer

Materi Kuliah:
Poligami dalam Perundang-undangan kontemporer
  •   Indonesia
    UU No.1/74 prinsip perkawinan adalah monogini/monogami
    Tetap ada kemungkinan poligami Psl.3 (2)
    Poligami maksimal 4 orang psl KHI Psl 55 (1)
    Poligami atas izin pengadilan UU No. 1/74 Psl 3 (2) jo KHI Psl 56 (1)
    tanpa izin pengadilan, tdk mempunayi kekuatan hukum  KHI psl 56 (3)
    PNS berpoligami wajib izin dari pejabat PP. 45/1990 Psl 4 (1)
    PNS wanita tdk diizinkan menjadi istri ke 2/3/4 PP.10/1983 Psl 4 (2) jo PP 45/1990 perubahan no. 2 (2)
    Izin beristri dari seorang, dpt diberikan minimal salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif PP.10/83 Psl 10 (1,2,3)
      Syarat alternatif, istri tdk dpt menjalankan kewajiban, istri cacat badan/sakit tdk dpt disembuhkan, tdk melahirkn keturunan,
      Syarat kumulatif; persetujuan dari istri-istri, mampu menjamin keperluan istri dan anak, jaminan tertulis suami berlaku adil
    Persetujuan istri hrs dipertegas di pengadilan
  •   Malaysia
    Harus ada izin tertulis dr pengadilan, tdk berizin maka tdk boleh didaftar, boleh didaftar dg syarat membayar denda atau hukuman.
    Pertimbangan hakim terhadap 3 pihak; istri, suami dan pihak terkait
      Pihak Istri: krn kemandulan, keuzuran jasmani, kondisi fisik yg tdk memungkinkan melakukan hbg seksual
      Pihak suami: Mampu menanggung baiaya hidup istri, berbuat adil pada istri
      orang terkait; tdk mendatangkan mudharat terhadap istri, tdk merendahkan taraf hidup tanggunganya















Hukum Keluarga

Hukum Keluarga
  •   Pengertian: penggunaan beberapa istilah: di Arab :al-Ahwal al-Syakhshiyah,huquq al-usrah, ahkamul usrah Inggris; personal statute,
  •  Pengertian Hukum adalah peraturan yg dibuat oleh penguasa atau adat yg berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); undang-undang, peraturan dan sebagainya utk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan)
  • Keluarga ialah satuan kekerabatan yg sangat mendasar dalam masyarakat, sedangkan kekerluargaan adalah kata keluarga yg medapat awalan dan akhiran yg berarti hal yg berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga.
  • Hk Keluarga menurut Istilah ialah hukum atau undang-undang yg menagatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yg berhubungan dg ihwal kekeluargaan.
  • Terdapat perbedaan dlm penggunaan istilah, Subekti menggunakan istilah Hukum Keluarga, Hazairin menggunakan istilah kekeluargaan. Perbedaan ini menurut Satjipto Rahardjo adalah hal biasa sebab di Indonesia belum tercapai kemapanan penggunaan istilah secara baik
  • Ruang lingkup Hukum Keluarga: Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, ahwal al-Syakhshiyah meliputi perkawinan dan hal yg berkaitan, perwalian dan wasiat, dan kewarisan
  • Fungsi Hukum Keluarga adalah sebagai pengatur mekanisme timbal-balik antar sesama anggota keluarga dlm sebuah keluarga tertentu
  • Tujuan Hukum Keluarga:  mewujudkan kehidupan keluarga muslim yg sakinah, (bahagia dan sejahtera)

Silabi Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Hukum Keluarga di Negara Berkembang

POKOK-POKOK BAHASAN

1.      Hukum Keluarga (pengertian, ruang lingkup, fungsi dan tujuan)
2.      Poligami dalam kitab-kitab konvensional
3.      Pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab konvensional
4.      Peran wali dan kebebasan mempelai perempuan
5.      proses perceraian dalam kitab-kitab konvensional
6.      kewarisan dalam kitab-kitab konvensional
7.      Undang-undang perkawinan di Indonesia (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
8.      Undang-undang perkawinan di Malaysia (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
9.      Undang-undang perkawinan di Brunei (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
10.  Undang-undang perkawinan di Singapura (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
11.  Undang-undang perkawinan di Filipina (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
12.  Undang-undang perkawinan di Brunei (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
13.  Undang-undang perkawinan di Turki (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
14.  Undang-undang perkawinan di Mesir (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
15.  Undang-undang perkawinan di Iran (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
16.   Undang-undang perkawinan di India, (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
17.   Undang-undang perkawinan di Pakistan  (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
18.   Undang-undang perkawinan di Bangladesh (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
19.  Undang-undang perkawinan di Yordania (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
20.  Undang-undang perkawinan di Tunisia (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
21.  Undang-undang perkawinan di Kuwait (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
23.  Undang-undang perkawinan di Lybia (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
24.  Undang-undang perkawinan di Lebanon (sejarah lahir, dan kandungan hukumnya)
25.   Asas/Prinsip Perkawinan dalam undang_undang perkawinan
26.  Praktek dalam pembaruan hukum perkawinan


REFERENSI
  1. Peunoh dali, Perkawinan Islam suatu Studi Perbandingan dalam kalangan ahlus Sunnah dan negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
  2. JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (terj) (Surabaya: Amarpress, 1990)
  3. Muhammad Amin Suma, Hukum  Keluarga Islam di dunia Islam.